Dunia harus berpaling dari kesalahan fatal IMF dan Bank Dunia yang telah menjadikan pertumbuhan ekonomi ( economic growth ) sebagai mantra dalam program pengentasan kemiskinan. Sebuah seminar menarik diselenggarakan dalam rangkaian pertemuan tahunan ke-42 Dewan Gubernur Asian Development Bank (ADB) di Bali baru-baru ini.
Seminar bertajuk Toward A More Stable, Transparent and Responsible Financial System: The Role of Islamic Finance in Preventing Financial Failure and Crisis yang menghadirkan begawan ekonomi Islam DR M Umer Chapra itu menandai hadirnya keinginan kuat sejumlah ekonom untuk menghadirkan paradigma baru guna membangun pilar ekonomi yang lebih kokoh di kawasan ini.
Krisis keuangan global diyakini memberi implikasi serius bagi kawasan Asia. Menurut Asian Development Outlook (2009), pertumbuhan ekonomi negara berkembang di Asia tahun ini merosot menjadi 3,4 persen, dibandingkan pencengakibatkan lebih dari 56 ribu anak terancam kematian.
Krisis kali ini pun dipandang memiliki spektrum dan kedalaman yang lebih berat ketimbang krisis keuangan Asia 1997-1998. Krisis keuangan Asia 1997-1998 lebih disebabkan kelemahan struktur dalam sistem keuangan dan moneter di sejumlah negara.
Sedangkan krisis keuangan global saat ini berawal dari kegagalan sistem ekonomi dan keuangan di sejumlah negara maju. Macetnya subprime mortgage di AS, diikuti runtuhnya kepercayaan atas lembaga dan instrumen keuangan global, jatuhnya harga-harga saham, dan ambruknya pasar modal telah membalikkan arus modal dan kredit di Asia.
Akibatnya, pasar modal dan nilai tukar di Asia pun mengalami tekanan dan menghambat proses pembangunan sosial dan ekonomi di negara-negara Asia. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya resesi ekonomi yang melanda Kelompok Negara G3, yaitu AS, Jepang, dan Eropa.
Pertumbuhan ekonomi yang anjlok tentu akan berdampak pada membengkaknya angka pengangguran, penurunan upah, konsumsi dan tingkat kesejahteraan keluarga di negara-negara Asia. International Labour Organization (ILO) telah memprediksi lebih dari 30 juta penduduk akan kehilangan pekerjaan akibat krisis keuangan global ini.
Tren penurunan angka kemiskinan di kawasan ini pun akan akan terganggu. Studi Hasan, Magsombol, dan Chain (2009) menunjukkan bahwa akibat krisis penduduk miskin dan hampir miskin masih akan terperangkap dalam poverty trap mencapai lebih dari 80 juta orang tahun ini dan dapat membengkak menjadi 130 juta orang pada 2010.
Tidak mengherankan bila kemudian Presiden ADB, Haruhiko Kuroda, menegaskan, diperlukan upaya restrukturisasi secara mendasar untuk membentuk paradigma baru pembangunan di Asia dalam menahan laju dampak krisis keuangan global.
Konsensus Baru
Pernyataan Kuroda itu sepertinya hendak menggarisbawahi apa yang menjadi sinyalemen Prof Jeffrey Sachs dalam tulisannya yang betajuk A New Global Consensus on Helping the Poorest of the Poor (2001). Menurut Sach, sebuah konsensus baru sepatutnya menjadi acuan untuk mewujudkan model pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang dalam mengentaskan kemiskinan.
Ia amat percaya bahwa dunia harus berpaling dari kesalahan fatal IMF dan Bank Dunia yang telah menjadikan pertumbuhan ekonomi ( economic growth ) sebagai mantra dalam program pengentasan kemiskinan. Lebih jauh, Sach menyatakan, kunci sukses strategi pengentasan kemiskinan di tiap negara harus disusun secara komprehensif, bukan sekadar mengandalkan paket kebijakan ekonomi yang text book .
Strategi tersebut disusun dengan empat pilar penopang, yakni program reformasi ekonomi, peningkatan kualitas kesehatan dan pendidikan masyarakat, penguatan kapabilitas teknologi dan program structural adjustment dengan penumbuhan industri baru.
Karenanya, upaya pencarian paradigma baru dalam pembangunan ekonomi menemukan relevansinya dalam seminar ekonomi Islam yang diselenggarakan oleh ADB dan Departemen Keuangan baru-baru ini. Dalam pandangan Islam, konsep pembangunan ekonomi merupakan konsep pembangunan �insan seutuhnya� menuju puncak kehidupan yang seindah-indahnya ( fi ahsani taqwiin ).
Pembangunan yang berlandaskan proses tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) guna menciptakan keharmonisan kehidupan ( internal harmony ) melalui proses transformasi sosial yang menyatukan nilai-nilai moral ekonomi dan tingkat pareto potimum yang Islami.
Bukan sebaliknya, proses pembangunan yang dilandasi nilai-nilai sekulerisme yang meruntuhkan nilai-niai kemanusiaan dan meluncurkan babak kehancuran peradaban manusia ( the decay of civilization ) (Anwar Ibrahim, 1997).
Umer Chapra dalam seminar tersebut berargumen bahwa penyebab utama krisis keuangan global yang terjadi saat ini tidak lain adalah hilangnya market discipline dalam sistem keuangan kita. Kondisi inilah yang mendorong, terjadinya excessive lending , aksi spekulasi di pasar modal dan kenaikan nilai aset yang tidak terkendali.
Karenanya, saat ini menjadi momentum yang tepat bagi upaya membangun kembali arsitektur baru sistem keuangan global kita. Sejumlah pakar bersepakat bahwa keuangan syariah dinilai memiliki kemampuan meminimalisasi dampak dan frekuensi krisis keuangan dengan cara menghilangkan sejumlah kelemahan yang melekat dalam sistem keuangan konvensional.
Dengan memperkenalkan profit and loss sharing (PLS), keuangan syariah akan mendorong munculnya market discipline yang lebih kokoh karena mensyaratkan para pemilik dana untuk berbagi risiko dalam pembiayaannya. Keuangan syariah juga akan senantiasa mengaitkan ekspansi kredit dengan pertumbuhan ekonomi di sektor riil.
Namun, Chapra sedari awal memberikan catatannya untuk membangun sebuah sistem keuangan Islami yang tangguh. Pertama, sistem keuangan itu harus konsisten mewujudkan keadilan ( fairness ) bagi semua pelaku pasar. Kedua, sistem itu harus menekankan pentingnya skim pembiayaan PLS dan equity .
Ketiga, transaksi kontrak utang harus diciptakan melalui akad jual dan beli barang dan jasa di sektor riil, bukan melalui transaksi kredit secara langsung di sektor keuangan. Keempat, regulasi dan pengawasan lembaga keuangan dapat menjadi tidak memadai. Untuk itu nilai-nilai moral SDM keuangan syariah harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam mewujudkan market discipline sistem keuangan syariah.
Untuk membantu negara-negara di kawasan Asia menghadapi krisis keuangan global, ADB baru-baru ini menerbitkan fasilitas pinjaman baru yang diberi nama Countercyclical Support Facility (CSF) senilai tiga miliar dolar AS atau lebih dari Rp 30 triliun.
Fasilitas ini dimaksudkan untuk mendukung belanja pemerintah dalam mengembangkan permintaan pasar domestik, peningkatan produksi, penguatan program perlindungan sosial, dan fasilitas perdagangan dalam menahan laju pemutusan hubungan kerja.
Sumber : republika.co.id