Salah satu problematika mendasar yang dihadapi oleh para pakar maupun praktisi ekonomi syariah adalah masih minimnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang memiliki penguasaan ilmu ekonomi yang berbasis pada syariah Islamiyyah. Minimnya jumlah SDM yang memenuhi kualifikasi tersebut tentu saja mendorong berbagai kalangan yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap ekonomi syariah untuk mengambil langkah-langkah yang bersifat solutif.
Salah satu problematika mendasar yang dihadapi oleh para pakar maupun praktisi ekonomi syariah adalah masih minimnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang memiliki penguasaan ilmu ekonomi yang berbasis pada syariah Islamiyyah. Minimnya jumlah SDM yang memenuhi kualifikasi tersebut tentu saja mendorong berbagai kalangan yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap ekonomi syariah untuk mengambil langkah-langkah yang bersifat solutif. Dan diantara langkah-langkah tersebut, membangun institusi pendidikan ekonomi syariah yang berkualitas tentu saja menjadi pilihan yang tidak dapat ditawar lagi.
Namun kendala yang dihadapi pun tidaklah mudah. Dibutuhkan adanya kerja keras dan perencanaan yang matang, agar output yang dihasilkan benar-benar mampu menjawab berbagai permasalahan yang ada. Menurut data Bank Indonesia, diperkirakan bahwa dalam jangka waktu sepuluh tahun kedepan, dibutuhkan tidak kurang dari 10 ribu SDM yang memiliki basis skill ekonomi syariah yang memadai. Ini merupakan peluang yang sangat prospektif, sekaligus merupakan tantangan bagi kalangan akademisi dan dunia pendidikan kita. Tingginya kebutuhan SDM ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi syariah semakin dapat diterima oleh masyarakat. Walaupun harus diakui bahwa ketika berbagai pemikiran dan konsep ekonomi syariah ini pertama kali diperkenalkan, kemudian diimplementasikan dalam berbagai institusi ekonomi, sebagian dari kaum muslimin banyak yang ragu dan tidak percaya. Munculnya sikap semacam ini sebagai refleksi dari pemahaman bahwa ajaran agama Islam hanya mengatur pola hubungan yang bersifat individual antara manusia dengan Tuhannya saja, dan tidak mengatur aspek-aspek lain yang berkaitan dengan mu`amalah yang berhubungan dengan interaksi dan pola kehidupan antar sesama manusia. Padahal ajaran Islam adalah ajaran yang bersifat komprehensif dan universal, dimana tidak ada satu bidang pun yang luput dari perhatian Islam, termasuk bidang ekonomi tentunya.
Berkembangnya wacana ekonomi syariah sebagai sistem alternatif perekonomian yang ada, tidak lepas dari kekeliruan sejumlah premis ekonomi konvensional, terutama dalam masalah rasionalitas dan moralitas. Ilmu ekonomi konvensional sama sekali tidak mempertimbangkan aspek nilai dan moral dalam setiap aktivitas yang dilakukannya, sehingga tidak mampu menciptakan pemerataan dan kesejahteraan secara lebih adil. Yang terjadi justru ketimpangan dan kesenjangan yang luar biasa. Hal ini telah diungkap oleh beberapa pakar ekonomi, diantaranya adalah Fritjop Chapra dalam bukunya The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture, maupun Ervin Laszio dalam 3rd Millenium, The Challange and The Vision. Sehingga untuk memperbaiki keadaan tersebut, maka tidak ada jalan lain kecuali dengan membangun dan mengembangkan sistem ekonomi yang memiliki nilai dan norma yang dapat dipertanggungjawabkan (Didin Hafidhuddin, 2003).
Para pakar ekonomi Islam sendiri, seperti Umar Chapra, Khurshid Ahmad, dan yang lainnya, telah berusaha lama untuk keluar dari keadaan ini dengan mengajukan dan menawarkan berbagai gagasan ekonomi alternatif yang berlandaskan ajaran Islam, untuk kemudian dikembangkan didalam institusi ekonomi praktis. Karakteristik dan Landasan Filosofis Ekonomi Islam Menurut Didin Hafidhuddin, ada tiga karakteristik yang melekat pada ekonomi Islam, yaitu : Pertama, inspirasi dan petunjuk pelaksanaan ekonomi Islam diambil dari al-Quran dan Sunnah Nabi SAW. Ini berarti bahwa sumber utama yang menjadi pedoman dan rujukan didalam mengembangkan ekonomi Islam adalah al-Quran dan Sunnah. Dengan demikian, tidak boleh ada satu aktivitas perekonomian pun, baik produksi, distribusi, maupun konsumsi yang bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Begitu pula halnya dengan berbagai kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan, semuanya harus selaras dan sejalan dengan kedua sumber hukum tertinggi dalam ajaran Islam.
Kemudian yang kedua, perspektif dan pandangan-pandangan ekonomi syariah mempertimbangkan peradaban Islam sebagai sumber. Artinya bahwa kondisi yang terjadi di masa kejayaan peradaban Islam mempengaruhi terhadap pembentukan perspektif dan pandangan ekonomi Islam, untuk kemudian dikomparasikan dengan sistem konvensional yang ada, yang selanjutnya diterapkan pada kondisi saat ini. Sedangkan yang ketiga, bahwa ekonomi Islam bertujuan untuk menemukan dan menghidupkan kembali nilai-nilai, prioritas, dan etika ekonomi komunitas muslim pada periode awal perkembangan Islam (M Yasir Nasution, 2002). Sebagaimana diketahui bersama, bahwa komunitas yang dibangun oleh Rasulullah SAW merupakan komunitas terbaik yang pernah ada sepanjang sejarah peradaban manusia. Sistem perekonomian yang dibangun pada masa itu, benar-benar mencerminkan pelaksanaan ajaran Islam secara utuh.
Nilai-nilai–seperti kejujuran, keadilan, tidak berlakunya riba, tidak ada spekulasi, penimbunan, dan berbagai aktivitas yang merugikan–benar-benar diterapkan dalam kehidupan perekonomian, sehingga menciptakan kesejahteraan. Ketika saat ini kita berupaya untuk membangun kembali sistem perekonomian Islam, maka nilai-nilai dan norma-norma ekonomi yang pernah diterapkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabat harus dihidupkan kembali. Sedangkan landasan filosofis ekonomi Islam menurut Adiwarman Karim, terbagi atas empat hal, yaitu : Pertama, prinsip tauhid, yaitu dimana kita meyakini akan kemahaesaan dan kemahakuasaan Allah SWT didalam mengatur segala sesuatunya, termasuk mekanisme perolehan rizki. Sehingga seluruh aktivitas, termasuk ekonomi, harus dilaksanakan sebagai bentuk penghambaan kita kepada Allah SWT secara total.
Yang kedua, prinsip keadilan dan keseimbangan, yang menjadi dasar kesejahteraan manusia. Karena itu, setiap kegiatan ekonomi haruslah senantiasa berada dalam koridor keadilan dan keseimbangan. Kemudian yang ketiga adalah kebebasan. Hal ini berarti bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk melaksanakan berbagai aktivitas ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan Allah SWT yang melarangnya. Selanjutnya yang keempat adalah pertanggungjwaban. Artinya bahwa manusia harus memikul seluruh tanggung jawab atas segala keputusan yang telah diambilnya. Berbagai karakteristik dan landasan filosofis di atas memberikan panduan kepada kita didalam proses implementasi ekonomi Islam. Hal ini memberikan keyakinan kepada kita bahwa sistem ekonomi Islam ini merupakan solusi di masa yang akan datang, karena mengandung nilai dan filsafat yang sejalan dengan fitrah dan kebutuhan hidup manusia, tanpa membedakan suku, agama, ras, maupun atribut-atribut keduniaan lainnya. Perlu disadari bahwa sistem ekonomi Islam ini tidak hanya diperuntukkan bagi kaum muslimin saja, tetapi juga memberikan dampak positif kepada kalangan non muslim lainnya.
Urgensi Kurikulum Ekonomi Syariah Setelah menyadari akan pentingnya penerapan sistem ekonomi Islam secara menyeluruh, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana memenuhi kebutuhan SDM yang memiliki kualifikasi yang memadai. Tentu dalam hal ini, peran institusi pendidikan, termasuk perguruan tinggi, beserta kurikulumnya menjadi sangat signifikan. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh perguruan tinggi, yaitu antara lain : Pertama, memperbaiki dan menyempurnakan kurikulum pendidikan ekonomi, dimana sudah saatnya ada ruang bagi pengkajian dan penelaahan ekonomi syariah secara lebih mendalam dan aplikatif. Bahkan jika memungkinkan dibukanya jurusan ekonomi Islam secara tersendiri, dimana ilmu ekonomi Islam dikembangkan dengan memadukan pendekatan normatif keagamaan dan pendekatan kuantitatif empiris, yang disertai oleh komprehensivitas analisis.
Menarik sekali upaya yang telah dilakukan Pemerintah Kota Tasikmalaya, dimana memberlakukan pendidikan ekonomi syariah sebagai muatan lokal kurikulumnya pada tahun 2003/2004 ini. Hal tersebut tercermin dalam penyelenggaraan Semiloka tentang Penerapan Materi Ekonomi Syariah sebagai Muatan Lokal (Mulok) Kurikulum pada 17 Juni 2003 lalu di Tasikmalaya. Ide ini merupakan hasil olahan Pinbuk Tasikmalaya, Dewan Pendidikan Kota, dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) IPS Ekonomi SLTP. Upaya positif ini diharapkan mampu menjadi stimulus bagi daerah lain didalam upaya sosialisasi ekonomi syariah secara lebih dini, sekaligus sebagai upaya kongkrit didalam mengantisipasi tingginya kebutuhan akan SDM ekonomi syariah yang berkualitas.
Langkah yang kedua adalah dengan memperbanyak riset, studi, dan penelitian tentang ekonomi syariah, baik yang berskala mikro maupun makro. Ini akan memperkaya khazanah keilmuan dan literatur ekonomi syariah, sekaligus sebagai alat ukur keberhasilan penerapan sistem ekonomi syariah di Indonesia. Dan yang ketiga adalah dengan mengembangkan networking yang lebih luas dengan berbagai institusi pendidikan ekonomi syariah lainnya, seperti International Islamic University di Malaysia dan Pakistan, kemudian dengan lembaga-lembaga keuangan dan non keuangan Islam, baik di dalam maupun luar negeri, seperti IDB maupun kalangan perbankan syariah di dalam negeri. Adanya kesamaan langkah ini insya Allah akan mendorong percepatan sosialisasi dan implementasi ekonomi syariah di negeri tercinta ini. Wallahu`alam bi ash-shawab.
tulisan ini di sadur dari :
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php/ekonomi-syariah/949-urgensi-kurikulum-ekonomi-syariah