ISLAM AGAMA UNIVERSAL


“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS. 2: 21) “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…” (QS. 3:110)

ISLAM AGAMA UNIVERSAL

Sejak 14 abad yang lalu, Al-Qur’an telah menegaskan bahwa Islam adalah ajaran universal dimana misi serta kebenaran ajarannya melampaui batas-batas suku, etnis, bangsa, dan bahasa. Oleh kareanya, tidaklah mengherankan jika berbagai seruan Al-Qur’an banyak sekali menggunakan ungkapan yang berciri kosmopolitanisme ataupun globalisme. Misalnya firman Allah yang memulai seruannya dengan ungkapan, “Wahai manusia…”. Lebih dari itu, Islam kita yakini sebagai agama penutup, maka secara instrinsik jangkauan dakwah Islam mestilah mendunia, bukannya agama suku, rasial,, dan parochial, sebagaimana agama-agama terdahulu yang hanya dialamatkan pada suatu kaum tertentu.

Secara sosiologis, baru abad ini umat Islam sadar bahwa Islam benar-baenar tertantang memasuki panggung dakwah yang berskala global, yang antara lain disebabkan oleh revolusi teknologi, informatika, dan komunikasi. Sistem informasi dibantu dengan satelit, maka planet bumi, bahkan perut bumi dapat dipotret oleh manusia dan waktu yang bersamaan, gambar dan berbagai penjelasan detailnya bisa disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.

Lalu, apa makna dan dampak dari proses globalisasi informasi ini bagi Islam? Satu hal yang pasti bahwa umat Islam tidak bisa hidup, berfikir, dan bertindak isolatif, tanpa mempertimbangkan situasi dan umat beragama lainnya. Kesadaran akan lingkungan sosial dari planet bumi semakin merata. Bumi ini tidak lagi bisa di klaim sebagai milik satu bangsa atau satu umat saja, melainkan milik dan tanggung jawab bersama.

Secara teologis, panggilan ini sesungguhnya bukan hal yang baru bagi umat Islam. Sejak masa Rasulullah Muhammad saw. Sampai dengan masa pertengahan, kepemimpinan umat Islam dalam memajukan peradaban manusia tidak bisa diingkari, disaat bangsa Eropa masih jauh dari ketertinggalan dibelakang. Hanya saja, faktor-faktor objektif yang bisa dikaji secara ilmiah, mengapa dunia Islam merosot perannya dalam kepemimpinan dunia dan kemudian diambil alih oleh Barat.

Jika kita ikuti beberapa jurnal, buku, dan komentar para pakar politik dan kebudayaan, setelah berakhirnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet, perhatian Barat terhadap Islam semakin meningkat baik dalam kontrol positif maupun negatif. Para pengamat politik internasional, diantara yang paling vokal adalah Samuel P. Huntington, mengatakan bahwa kini kontak yang intens antara Barat dan Islam muncul kembali dan sisa-sisa berturan masa lalu di kaji ulang. Namun yang pasti adanya kekhawatiran Barat terhadap dunia.Islam merupakan kenyataan yang sulit diingkari.

Jungen Meyer, misalnya dari hasil penelitiannya, yang kemudian ditulis dalam bukunya The new Cold War? (1993), menyatakan bahwa dominasi ideologi Barat yang berakar pada paham nasionalisme-sekularisme, kini mendapat tantangan dari nasionalisme-religius. Kebangkitan etnis, suku, dan paham kebangsaan yang simbiosis dengan semangat keagamaan, bisa kita saksikan dimana-mana yang hal itu tidak hanya terjadi pada umat Islam, tetapi pada umat beragama lain.

Contoh yang paling mencolok adalah gerakan Zionisme-Yahudi yang berhasil mendirikan negara Israel dimana semangat agama dan paham kebangsaan begitu menyatu. Adapun bagi Islam, khususnya Timur Tengah. Ideologi islamisme dan dinastimisme kelihatannya masih begitu kokoh. Jika di masa Rasulullah dan sahabat semangat kesukuan dan kebangsaan bisa ditekan, maka setelah itu semangat sukuisme muncul kembali dan untuk selanjutnya ideologi nasionalisme tampil lebih solid lagi.

ERA GLOBAL
Meminjam Jargon Jhon Naisbit, sebagaimana tersurat dalam karyanya, Global Paradox, dalam waktu yang bersamaan sekarang ini kita dihadapan pada beberapa kecenderungan paradoksal. Dalam bidang budaya, disatu sisi kita menyaksikan munculnya semangat etnis dan keberagamaan yang kian menguat, tetapi pada sisi lain kita juga menyaksikan arus ideologi baru yang bercirikan trannasionalisme, globalisme, dan sekularisme. Pembentukan Pasar Tunggal Eropa, misalnya, tidak hanya merupakan gerakan trannasionalisme ekonomi, tetapi juga berpengaruh langsung pada gerakan budaya dan agama. Melalui jaringan ekonomi dan politik maka proses akulturasi maupun konflik antar agama dan budaya ikut berlangsung.

Jika dilihat dari segi positifnya, era globalisasi ini sesungguhnya merupakan peluang bagi Islam untuk kembali berperan aktif dalam percaturan dunia, terutama untuk ikut serta menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Islam memiliki doktrin, bukan sekadar gagasan, yang jelas dan secara konseptual siap diuji mengenai isu hak asasi manusia, paham demokrasi, prinsip-prinsip keadilan, etika bisnis, dan sebagainya yang sementara ini belum dikenal oleh masyarakat dunia karena dikalahkan oleh isu-isu terorisme dan perang.

Di samping kita menyadari bahwa itu tidak benar, kita tidak perlu meratapi diri sehingga tidak kreatif karena hal itu barang kali merupakan bagian dari episode sejarah Islam yang harus dilalui. Soal dosa sejarah, dosa politik, dan dosa kemanusiaan, masyarakat Barat pun tidak bisa cuci tangan. Abad imperialisme yang begitu hitam. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan Barat sekarang sedang mempromosikan hak asasi manusia dan demokrasi yang barang kali merupakan “pertobatan histories” atas dosa-dosanya dimasa lalu?

Khusus bagi Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia yang dahulu tidak banyak dikenal dunia luar, secara perlahan namun pasti posisinya semakin diperhitungkan. Jika umat Islam Indonesia tidak memiliki khasanah kebudayaan dan prestasi intelektual keislaman sebagai warisan masa lau, hal ini tidak berarti Islam Indonesia posisinya selamanya marginal.

ISLAM DALAM PERCATURAN GLOBAL
Dari sekian agama yang ada, daya survive Islam sangat mengagumkan bagi kalangan sejarawan. Bagi kita, bangsa Indonesia faktor histories ini begitu jelas. Meskipun Barat (Belanda) pernah menjajah kita ratusan tahun lamanya, ternyata Islam pada akhirnya justru bangkit sebagai kekuatan inti dalam menghalau penjajah. Tidak di Indonesia saja, dibelahan bumi yang lainpun ternyata Islam tidak lenyap meski mendapat gempuran Barat, tetapi malahan bangkit dan berkembang hingga hari ini.

Pernyataan yang harus dijawab adalah jika berhadapan dengan Barat sebagai penjajah Islam telah berhasil membesarkan diri dan mengusir kekuatan Barat dari negeri-negeri muslim, mampukah dalam proses globalisasi ini Islam tampil sebagai pihak yang menentukan jalannya proses tersebut, dan bukan hanya sebagai pihak yang ditentukan apalagi dikalahkan?
Jawaban atas pertanyaan tentu tidak sesederhana sebagaimana tidak sesederhananya proses globalisasi itu sendiri. Namun satu hal yang jelas adalah kita umat Islam tidak mau menjadi korban dari arus globalisasi dan tenggelam di dasarnya hanya lantaran kita tidak paham bagaimana berenang diatasnya jika mungkin turut mengarahkan jalannya arus tersebut.
Agar umat Islam di Indonesoa yang dikenal sebagai “The Biggest Moslem Community in The World” mampu tampil dan turut berperan sebagai penentu dan bukan hanya ditentukan, sebagai pemain dan bukan hanya sebagai penonton, maka dalam menghadapi tantangan globalisasi ini perlu kiranya dilakukan beberapa langkah strategis.

Pertama, mengajak umat mengenal makna yang sebenarnya dari proses globalisasi serta implikasinya bagi kehidupan umat dan bangsa dalam berbagai aspek. Globalisasi sebagai proses yang pada akhirnya akan membawa seluruh penduduk planet bumi menjadi suatu world society dan global society harus dipandang dan difahami sebagai proses wajar yang tak terhindarkan yang diakibatkan oleh semakin majunya peradaban manusia dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) khususnya teknologi komunikasi dan informasi. Sebab bagaimanapun global society yang oleh Miriam L. Campenella dalam buku Transition to a Global Society diartikan sebagai “an idealistic cosmopolitan and universal society that includes all the people living on earth, without regard to cultural and ethical beliefs, lambat maupun cepat akhirnya akan menjadi kenyataan. Menampakkan wujudnya di bumi manapun dengan cepat dapat dikomunikasikan ke seluruh dunia. Akibatnya manusia semakin menyadari posisinya sebagai sesama warga satu desa dunia atau a global village. Sebagaimana halnya yang saling mengenal satu sama lain serta selalu saling bergotong royong dalam mewujudkan keamanan dan kesejahteraan seluruh warga, demikian pula hendaknya sikap manusia sebagai sesama warga bumi.

Kedua, dalam kontek Islam, umat harus diajak menyadari tanpa harus terjebak dalam sikap opologetik bahwa ajaran Islam dengan tegas dan gamlang sejak awal telah memandang umat manusia sebagai suatu kesatuan (umat wahidah) yang dalam wacana globalisasi senantiasa merupakan kelanjutan belaka dari ajaran tauhid yang mengajarkan tentang satunya asal usul umat manusia. Dengan gamlang ditegaskan dalam surah al-anbiyaa’ ayat 92.

Artinya, “Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah umatmu semua, yaitu yang satu dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah aku(saja).”

Dengan menyadari bahwa konsep kesatuan umat manusia adalah konsekuensi dari keyakinan tauhid yang merupakan bagian sentral dari ajaran Islam sendiri, maka diharapkan umat Islam tidak perlu takut akan proses globalisasi meskipun memang perlu sikap waspada. Kewaspadaan itu harus diwujudkan dalam sikap dan perilaku kreatif dengan menggali hikmah ajaran Islam untuk didakwahkan dan disumbangkan sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil-‘alamin).

Ketiga, kita harus mengembangkan kehidupan beragama yang “tune in” dengan tuntutan perkembangan di era globalisasi ini. Seperti dimaklumi sering dengan globalisasi okonomi maka kekuatan satu bangsa tidak lagi ditentukan oleh ketangguhan watak dan daya intelektualnya, sekarang lebih dikenal sebagai kualitas sumber daya manusia(SDM).

Taiwan, Korea, Hongkong, dan Singapura yang disebut sebagai “empat naga kecil” (fout little dragon) ekonomi itu adalah contoh konkrit yang sumber daya alamnya sangat terbatas, namun berhasil muncul sebagai kekuatan ekonomi yang disegani, lantaran keberhasilannya dalam mengembangkan dan mendayagunakan sumber daya manusianya. Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai international competence atau kompetensi internasional merupakan
kemampuan penting yang harus dimiliki bangsa Indonesia bila kita ingin tampil sebagai bangsa yang bukan hanya besar dari segi kuantitas, melainkan juga dari segi kualitas.

Untuk menjawab tantangan tersebut umat Islam sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia harus sanggup mewujudkan kehidupan keagamaan yang kondusif bagi upaya mewujudkan international competence bangsa dalam percaturan global yang semakin kompetitif. Oleh sebab itu, menjadi suatu keharusan yang mendesak agar umat Islam mengembangkan pola kehidupan yang beragama yang aktual, yaitu; pola keberagamaan yang selain menghidup suburkan keimanan dan ketakwaan juga sekaligus melahirkan kegairahan untuk mendayagunakan dan meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kemampuanya seoptimal mungkin.

Salah satu hadits Nabi mengatakan, ”Barang siapa yang ingin dunia hendaklah dengan ilmu, barang siapa yang ingin akhirat hendaklah dengan ilmu. Dan Barang siapa yang ingin keduanya maka hendaklah dengan ilmu.” Tentang pentingnya ilmu di samping iman tidak boleh tersimpan dibalik lipatan kitab-kitab.

Ajaran tersebut harus dibumikan sedemikian rupa agar dapat menjadi inner drive yang menggairahkan upaya meningkatkan kualitas bangsa ini. Sebab, sumber utama dari kemajuan suatu bangsa, pada dasarnya terletak pada kegairahannya dalam menggali dan mengembangkan ilmu. Islam memang kaya dengan nilai-nilai luhur yang pada dasarnya juga menjadi nilai-nilai yang menggerakkan kemajuan peradaban. Sayang kita umat Islam belum bisa membumikan nilai-nilai luhur tersebut. Karena itu, agenda utama umat Islam tak lain adalah menerjemahkan ajaran-ajaran yang sangat dalam dan dinamis itu, bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam perbuatan nyata.

Dengan langkah-langkah seperti dipaparkan diatas, umar Islam tidak akan gampang terseret dalam menghadapi arus globalisasi. Sebagaimana bagian tersebar dari bangsa Indonesia, umat Islam dengan kemampuan menggali dan mendayagunakan ajaran agamanya untuk menjawab tantangan globalisasi, justru diharapkan untuk mampu mempelopori dan membawa bangsa ini tampil di gelanggang percaturan dan persaingan global tanpa kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang beriman dan bertakwa. Ini sekaligus merupakan upaya konkret untuk turut mengarahkan aliran arus globalisasi.

Dengan teknologi komunikasi dan informasi, dunia memang terasa menjadi sempit dan kecil. Tanpa keimanan kecanggihan produk iptek tersebut dapat membawa manusia ke sikap sombong dan melupakan Tuhan. Namun dari sudut iman dunia yang terasa kecil itu justru menggugah agar manusia lebih merasa kecil lagi di hadapan Tuhan Yang Maha Pencipta. Tanpa pegangan iman pola kehidupan yang makin mengglobal ini akan mudah membawa orang terombang ambing, terlanda stress, dan keterasingan (alienated). Tetapi dengan keimanan orang akan tangguh menghadapinya, karena proses tersebut di pahami sebagai bagian dari sunnatullah yang tak mungkin dihindari.

Penulis : K.H. Tarmizi Taher
(Disadur dari bukunya, “Menyegarkan Akidah Tauhid Insani, Mati di Era Klenik” Gema Insani Press, Jakarta 2002)

Tidak ada komentar: